Senin, 23 November 2009

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM



“KORUPSI DAlAM PERSPEKTIF ISLAM”

Dari Adiy bin Amirah Al-Kindi Radhiyallahu anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda.”Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”
(Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu ia berkata, Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.!

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bertanya : Ada gerangan apa ?
Dia menjawab, Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan diatas).
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam pun berkata, Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.

MAKNA HADITS

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabannya nanti pada hari Kiamat.

SYARAH HADITS
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam besabda: “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).”[5]

Asy-Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi). [6]

Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dumaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.

HUKUM SYARI?AT TENTANG KORUPSI

Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari?at, baik dalam Kitabullah (Al-Qur?an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam yang shahih. Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta?ala.

?Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu ..? [Ali-Imran : 161]

161. Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta?ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.

Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu ?anhu, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta?ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.

Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya. [7] Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma?shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.

Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : ?Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu??

Ibnu Katsir mengatakan, ?Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras? [8]

Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara yang batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta?ala, sebagaimana dalam firman-Nya

?Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui? [Al-Baqarah : 188]

Juga firman-Nya.

?Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil..? [An-Nisa : 29]

Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, diantaranya hadits dari Adiy bin Amirah Radhiyallahu ?anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu ?anhu diatas.

Islam dan Korupsi

Ada banyak ungkapan yang bisa dipakai untuk menggambarkan pengertian korupsi, yang walaupun tidak tepat betul, tetapi tidak telalu jauh dari hakikat dan pengertian korupsi. Ada sebagian yang menggunakan istilah "ikhtilas " untuk menyebut prilaku korupsi, walau dalam kamus-kamus kita temui makna asli "ikhtilas" adalah mencopet atau merampas harta orang lain. Sementara itu, ada yang mengungkapkan dengan "ghulul. Sementara itu, ada yang mengistilahkan "Akhdul Amwal bil bathil ",

sebagaimana disebut dalam al-Qur'an surat al-Baqarah [2]:188.

188. Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.

Pada kenyataannya, praktek korupsi yang selama ini terjadi lebih berkaitan dengan pemerintahan negara atau public office, sebab esensi korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di Pemerintahan terletak pada penggunaan kekuasaan dan wewenang yang terkandung dalam suatu jabatan di sate pihak dan di pihak lain terdapat unsur perolehan (gain) atau keuntungan, baik uang atau yang lainnya, sehingga tidak salah apabila ada yang memberikan definisi korupsi dengan ungkapan : “Akhdul Amwal Hukumah Bil Bathil” Apapun istilahnya, korupsi ternyata laksana "dunia hantu" dalam relasi kehidupan manusia. Dunia hantu adalah dunia yang tidak tampak wujud jasadnya, tetapi terasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi yang mengimplikasikan dunia ketidak-jujuran (uncredible), kepura-puraan, dan hilangnya kepercayaan (lacking of trust), kejernihan hati, pikiran, dan moral. Dunia hantu adalah dunia semu, dunia bayangan, dunia instan, dan dunia jalan pintas.


Hukum Korupsi dalam Persepsi Islam

Ada banyak Ayat dan Hadits, disamping yang sudah disebutkan di depan, yang menjelaskan posisi atau hukum korupsi dalam pandangan Islam, diantaranya :Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2]:188

"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahuinya.

"Ayat diatas jelas jelas melarang kita untuk mengambil harta orang lain dengan caracara yang tidak benar. Dan "larangan" dalam pengertian aslinya bermakna "haram", Dan ke"haram"an ini menjadi lebih jelas, ketika Alloh menggunakan lafadh “bilitsmi” yang artinya "dosa".

Dari sini, jelas mengambil harta yang bukan miliknya —termasuk diantaranya korupsi — adalah haram hukumnya, sama haramnya dengan pekerjaan berzina, membunuh dan semacamnya.

Firman Allah Ta'ala dalam surat an-Nisa' [4]:29

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka4sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesunguhnya Alloh adalah Maha Penyayang kepadamu ".

Seperti yang pertama, ayat inipun melarang dengan tegas mengambil harta orang dengan cara-cara tidak benar, bedanya ayat ini memberikan solusi bagaimana mengambil harta orang lain tetapi dengan cara yang benar, salah satu di antaranya dengan melakukan jual beli atau transaksi dagang yang terlandasi kerelaan diantara pembeli dan penjual. Yang menarik, dalam ayat ini disebutkan dengan j etas larangan membunuh diri sendiri – apalagi membunuh orang lain – setelah larangan memakan harta orang lain dengan cara batil, sehingga – paling tidak – hukum dan hukuman orang yang memakan harta orang lain dengan cara batil sama dengan hukum dan hukuman membunuh orang, kalau tidak saya katakan "lebih berat", mengingat penyebutan larangan memakan harta orang lain dengan cara batil didahulukan dari larangan membunuh.

Firman Alloh Ta'ala dalam surat al-Maidah [5]:33.

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akherat mereka beroleh siksaan yang besar ".

Ayat ini dengan jelas menyebutkan "balasan" bagi orang yang "memerangi Alloh dan Rosul-Nya" – yang berarti juga mengingkari ketentuan dan perintah Alloh dan Rosul-Nya, dimana diantara ketentuan-Nya adalah seperti yang termaktub dalam surat al-Baqoroh [2]:188 dan surat al-Nisa' [4]:29

29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

[287] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.



"membuat kerusakan dan keonaran di muka bumi" yaitu: "dibunuh" atau "disalib" atau "dipotong tangan dan kakinya secara bersilang" atau "dibuang dari negerinya", semua itu adalah balasan di dunia, dan ternyata tidak berhenti disitu, mereka di akherat akan mendapat siksa yang jauh lebih pedih lagi. Empat "balasan" tersebut yang pada dasarnya untuk memberikan kejeraan kepada korupsi ini tentunya disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan yang dilakukan.

Apabila disamping korupsi ternyata juga membunuh, maka harus dibunuh; dan jika sekedar korupsi — paling tidak dipotong tangan kanannya, kalau melakukan sekali lagi maka dipotong kaki sebelah kiri, begitu seterusnya. Apabila dia tidak terlalu berat bobot korupsinya, cukup diasingkan (di-Nusakambangankan). Walhasil harus "tanda" sebagai shock therapy bagi pelakunya dan masyarakat umum.

Saya kira ini solusi yang terbaik untuk membendung — kalau mungkin membersihkan — korupsi, yang apabila ini betul-betul dilaksanakan dengan konsisten dan konsekwen, maka paling tidak korupsi bisa dibendung. Kita tidak usah mendengarkan atau menggubris omongan-omongan orang yang sok humanistis yang menganggap hukuman mati atau hukuman potong tangan itu tidak manusiawi.

Sementara mereka tidak berfikir bahwa akibat perlakuan koruptor justru sangat luar biasa dampaknya, berapa ribu kalau tidak berapa juta manusia yang pada prinsipnya mereka dibunuh dengan cara-cara yang tidak manusiawi, dengan diambil hak-haknya dan dipotong bagian-bagian mereka.


Firman Allah Ta'ala dalam surat al-Muthaffifiin [83]:1-6

"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi, tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? ".

Ayat tersebut penekanannya pada "pengurangan atau pengambilan hak orang lain"Waidza Kaaluuhum aw wazanuuhum yakhsirun”, hal ini diperjelas oleh ayat : 35, surat al-Israa' [17]:6

"Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utarna (bagimu) dan lebih baik akibatnya. "

sehingga hukuman bagi orang-orang yang melakukan manipulasi atau mengambil harta orang lain dengan cara mengurangi takaran dan timbangan adalah "ke-celaka-an".
Sementara sebagian mufassir mengartikan bahwasanya wayl dalam ayat diatas adalah bagian dari neraka yang berada dilembah "Jahannam". Sementara itu, Rasulullah SAW. dengan gamblang menyebutkan hukuman bagi orang-orang yang melakukan korupsi dalam banyak hadits, diantaranya: "Barangsiapa yang mengangkat senjata untuk memerangi kita, maka dia bukan kelompok kita. Dan barangsiapa menipu dan memanipulasi terhadap kita, maka dia bukan kelompok kita. " Hadits riwayat Muslim yang artinya : Rasulullah berjalan melewati sebuah kumpulan, sebuah kedai yang menjual barang makanan, kemudian Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan itu, ternyata tangan Rasulullah menjadi basah, kemudian beliau bertanya: "apa ini wahai pemilik makanan ", orang tersebut menjawab: "kehujanan ya Rasulullah ", kemudian Rasulullah bersabda:. "tidakkah sebaiknya engkau letakkan di atas tumpukan makanan ini, sehingga orang bisa rnelihatnya, barangsiapa melakukan tipu daya dan manipulasi maka mereka bukan termasuk golonganku". HR. Muslim.

Kedua hadits diatas mengindikasikan, bahwa orang yang memanipulasi dan mengambil hak orang lain, bukan saja berdosa, tetapi lebih dari itu ternyata dianggap keluar dari komunitas muslim (kafir).

Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab, bahwasanya ketika selesai terjadi peperangan khibar, sekelompok sahabat Rasulullah mereka bersaksi ada seseorang yang gugur dalam peperangan menjadi syahid, ada sesorang yang gugur dalam peperangan menjadi syahid, kemudian Rasulullah berkata: "Tidak demikian, sungguh saya melihat dia berada di neraka sebab mencuri selimut dan mantel ", kemudian Rasulullah bersabda . "Wahai Putra Khaththab, berangkatlah sampaikan kepada manusia, sesungguhnya tidak akan masuk surga, kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah ", kemudian Umar berkata . "soya lalu keluar dan saya sampaikan, ketahuilah bahwasanya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin ". HR. Muslim.

"Ghulul" dalam hadits tersebut – sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi – adalah "khiyanat dalam harta", yang berarti tidak amanat didalam mengemban tanggungjawab, dan ini identik dengan korupsi. Dan Rosululloh SAW menjelaskan bahwa orang yang melakukan ghulul – walaupun hanya sekedar mantel – dianggap keluar dari koridor iman, tidak berhak masuk sorga justru akan disiksa dineraka.

Rasulullah bersabda: "Janganlah melakukan ghulul, karena sesungguhnya ghulul adalah api bagi pelakunya di dunia dan di akherat". HR. Ahmad.

Hadits-hadits tersebut di atas dengan jelas dan gamblang menunjukkan bahwa pelaku korupsi itu bisa mengakibatkan dianggap keluar dari agama, pada saat yang sama bisa mengantarkan ke dalam neraka. Sementara itu, hadits yang terakhir menunjukkan bahwa pelakunya itu akan mendapatkan siksaan tidak hanya di akherat tapi juga di dunia.

Karenanya, tidak terlalu berlebihan apabila Ibnu Hajar al-Haytami mengatakan bahwa korupsi itu termasuk dosa besar (min al-kaba'ir).

Jalan Keluar dari Lilitan Korupsi

Memang bukan pekerjaan mudah untuk mengubur budaya korupsi di negeri kita, mengingat ia nyaris menyeruak ke seluruh relung kehidupan manusia di mana dan kapan saja. Penyakit korupsi di negeri ini sudah sedemikian kronis dan akut. Untuk menyembuhkannya diperlukan manusia malaikat yang mampu menguliti kuman-kuman korupsi supaya tidak lagi menghinggapi kehidupan manusia. Manusia malaikat adalah manusia suci yang senantiasa membangun jati dirinya kearah terbentuknya Trust Society. Jika negeri ini ingin lepas dari rantai korupsi, maka hal pertama yang urgen dilakukan adalah membangun masyarakat yang bisa dipercaya/ terpercaya ( al-mujtama' al-amin/trust society).

Membangun manusia beriman sebenar-benarnya, atau dikenal dengan istilah "masyarakat percaya", "masyarakat dipercaya", atau "masyarakat terpercaya", bukanlah hal yang mudah. Resistensi ke arah itu sungguh akut. Amerika Serikat sendiri, seperti diakui Michael Novak, sosiolog terkemuka di AS, bahwa "AS sekarang ini bukanlah masyarakat bebas maupun masyarakat adil. Kebebasan dan keadilan bagi semua, dewasa ini telah menjauh ke seberang tempat berpijak sekarang ini, yaitu AS."

Trust society, eksistensinya barangkali bisa dirunut kepada "dunia malaikat". Al-Qur'an menyatakan,

"...sedang mereka ( malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) " (QS. Al-Nahl [16]: 49-50);

"Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ". (QS. Al-Tahrim [66]: 6).

6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Ayat-ayat di atas menjelaskan betapa para malaikat hanya berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan Tuhan kepada mereka. Jujur dan terpercaya. Alunan irama tasbih, tahmid, dan takbir serta sujudnya kepada Tuhan dilakukan dengan penuh kesetiaan dan kenikmatan. Siang dan malam bertasbih, dengan penuh keteraturan, dan kecepatan menunaikan perintah-perintah Tuhan.
Begitu proporsionalnya malaikat dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sarpaisampai Allah berkenan menyampaikan sumpah dengan menyebut malaikat, (QS. Al-Nazi'at [79]: 1-5).

Yang artinya : "Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikatmalaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut, dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) ".

Sumpah, biasanya terjadi karena sesuatu itu disegani dan dihormati oleh si pengucap sumpah (al-muqsim). Tetapi, bukan itulah yang dimaksudkan Tuhan, karena tak sesuatupun dalam wujud ini yang layak dihargai manakala diperbandingkan dengan-Nya. Setidak-tidaknya bagi manusia, sumpah didalam al-Qur'an berarti mengandung pelajaran (ibrah) dan hikmah yang hams dipelajari.
Di sini, keimanan seseorang diukur oleh kualitas-kualitas rasional yang bisa dipercaya. Adalah urgen bagi manusia meniru kinerja malaikat dalam perspektif hukum Tuhan yang sepenuhnya berada di bawah kendali-Nya, yang bisa dipercaya dan terpercaya.

Spesifikasi kedudukan dan karakteristik yang berbeda-beda untuk melaksanakan perintah Tuhan adalah kata lain dari bentuk kejujuran malaikat yang memiliki korelasi moral bagi pembangunan manusia. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, bahwf semua keadaan yang berkenaan dengan malaikat sesungguhnya berkaitan dengan bagaimana membangun peradaban manusia, keutamaaan, dan kemuliaannya. Karena itu, makna keimanan sesungguhnya bukan hanya persoalan sederhana,rasionalitas, kerja keras, dan sportifitas.

Revolusi spiritual dimaksudkan untuk mengeluarkan jiwa manusia dari kungkungan irrasionaiitas, "pemberhalaan" nenek moyang, keturunan, etnis, dan ideologi keagamaan komunal. Adalah Marthin Luther (1575), Jerman, bapak revolusi spiritual yang mengusung ide kebebasan dalam berkreasi, kebebasan dalam menafsirkan Kitab suci, kebebasan dalam bergerak, dan kebebasan kemanapun tanpa harus "merasa khawatir" akan doktrin agama – ketika tidak lagi ditemukan "masyarakat dipercaya" dalam komonitas kaum beragama –. Sekalipun, sebenarnya para Nabi dan Rasul itu diutus ke dunia untuk melangsungkan "revolusi spiritual" sejati bagi manusia. Di sini, membangun trust society harus dimulai dengan revolusi secara radikal terhadap semua paradigma, keyakinan, dan perilaku menyimpang. Revolusi di sini berarti perbaikan secara mendasar terhadap semua keadaan yang bathil menuju kebebasan. Konsekuensinya, jelas hal itu membutuhkan sikap berani dan kritis serta komitmen moral untuk berkorban demi kepentingan orang kebanyakan daripada diri sendiri, sehingga ia layak disebut "pahlawan kebajikan" atau al-amin (manusia dipercaya). Seperti dilukiskan dengan tradisi malaikat bahwa ia rela ber-tasbih dan ber-takbir seluas ruang dan sPpanj ang waktu karena hanya mengikuti Al-Haqq.

* Rois Syuriyah PBNU dan Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

0 komentar: