Minggu, 22 November 2009

GURU PAI DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL


GURU PAI DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

A. Depenisi Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah Keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dipersalahkan, diperkarakan, dsb). Istilah tanggung jawab dalam bahasa Inggris (responsibility), dan dalam bahasa Latin responsum (jawaban). Lorens Bagus berpendapat bahwa Konsep tanggung jawab berdasarkan ide-ide: Pertama, Kewajiban. Maksudnya terdapat tindakan-tindakan yang harus dan dapat dijalankan oleh suatu makhluk sosial. Kedua, Liabilitas (kemungkinan untuk digugat). Artinya, kelalaian seseorang terhadap tindakan-tindakan ini dapat dikenakan hukuman. Ketiga, ketaatan seseorang terhadap tindakan-tindakan ini berkaitan dengan ganjaran (penghargaan, pujian).

Dari ketiga konsep tanggung jawab yang dikemukakan Lorens Bagus tersebut maka saya berasumsi bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kehidupan sosial, artinya seorang ilmuan atau pendidik memiliki tanggung jawab sosial dalam kehidupan masyarakat untuk mempertanggung jawabkan keilmuan yang dimilikinya, dan jika dalam penerapan keilmuan tersebut terjadi kekeliruan atau kesalahan maka ia dituntut dan digugat berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam Islam ada tanggung jawab besar yang diperhatikan dan disoroti oleh penalaran logika, yakni tanggung jawab seorang pendidik. Pendidik mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya, seperti tanggung jawab Iman, tanggung jawab etika, tanggung jawab fisik, tanggung jawab Rasio, tanggung jawab kejiwaan, tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab seksual. Tanggung jawab tersebut merupakan suatu amanah yang harus diembannya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di sekolah, namun yang tidak kalah pentingnya terlibat secara langsung di masyarakat, dan dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku seorang pendidik tidak berhenti pada penelaahan keilmuan di sekolah secara individual namun ikut juga bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat.

Diantara tanggung jawab besar seorang pendidik adalah berupa tanggung jawab pengajaran, bimbingan dan pendidikan. Ini sesungguhnya bukan tanggung jawab kecil dan ringan, karena tanggung jawab dalam persoalan ini telah dituntut sejak seorang anak dilahirkan hingga ia menginjak usia dewasa yang sempurna. Jelaslah, bahwa seorang seorang pendidik, baik guru, ayah dan ibu, maupun tokoh masyarakat, ketika melaksanakan tanggung jawabnya secara sempurna, melaksanakan kewajiban-kewajiban penuh dengan rasa amanat, kesungguhan, serta sesuai dengan petunjuk Islam, maka sesungguhnya ia telah mengarahkan segala usaha untuk membentuk individu yang penuh dengan kepribadian dan keistimewaan.

Ketika seorang pendidik yang telah diperkaya dengan ilmu pengetahuan, maka dia mempunyai tanggung jawab moral untuk mengimplementasikan keilmuannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, Keilmuan seorang pendidik tidak akan terlepas dari tanggung jawabnya dari sisi manfaat dan mudharat kepada orang lain.

B. Pokok-pokok Tanggung Jawab Pendidik.

Kalau kita teliti ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah saw. yang menganjurkan kepada para pendidik untuk melaksanakan tanggung jawab mereka dan memperingatkan mereka manakala melalaikan tanggung jawab itu, maka ada beberapa tanggung jawab pendidik yang merupakan amanah yang harus dipikul. Tanggung jawab pendidik tersebut begitu banyak dan yang mendesak untuk diangkat pada makalah ini adalah tanggung jawab pendidikan Iman dan tanggung jawab pendidikan moral, mengingat dunia hari ini, sedang kehausan nilai-nilai relegius. Diantara tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tanggung Jawab Pendidikan Iman

Yang dimaksud dengan pendidikan iman adalah, mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mulai mengerti, membiasakannya dengan rukun Islam sejak ia memahami, dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz.

Dasar-dasar keimanan ialah, segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah ghaib, semisal beriman kepada Allah swt., beriman kepada para malaikat, beriman kepada kitab-kitab samawi, beriman kepada semua rasul, beriman bahwa manusia akan ditanya oleh kedua malaikat, beriman kepada siksa kubur, hari kebangkitan, hisab, syurga, neraka, dan seluruh perkara ghaib lainnya.

Rukun Islam adalah, setiap ibadah yang bersifat badani, maupun materi, yaitu shalat, puasa, zakat, dan haji bagi orang yang mampu untuk melakukannya.

Dasar-dasar syariat adalah, segala yang berhubungan dengan sistem atau aturan Ilahi dan ajaran-ajaran Islam, berupa akidah, ibadah, akhlak, perundang-undangan, peraturan, dan hukum.

Kewajiban pendidik adalah, menumbuhkan anak atas dasar pemahaman-pemahaman di atas, berupa dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga, anak akan terikat dengan Islam, baik akidah maupun ibadah dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun peraturan. Setelah mendapat petunjuk dan pendidikan ini, ia hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya, al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah saw. sebagai pemimpin dan teladannya.

Menurut Abdullah Nashih Ulwan, ada beberapa petunjuk dan wasiat Rasulullah saw. tentang pendidikan Iman kepada anak;

1) Membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda; “Bacakanlah kepada anak-anak kamu kalimat pertama dengan Laa Ilaaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Rahasianya adalah, agar kalimat tauhid dan syiar masuk Islam itu menjadi yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak, kalimat yang pertama diucapkan oleh lisannya dan lafal pertama yang dipahami anak.

2). Mengenalkan hukum-hukum halal dan haram kepada anak sejak dini

Ibnu Jarir dan Ibnu Munzir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa ia berkata:

“Ajarkanlah mereka untuk taat kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka”.

Jika kita memperhatikan pernyataan dari Ibnu Abbas ra. Tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa Allah memerintahkan kepada pendidik atau orang tua untuk mengajari anak-anaknya mentaati Allah swt. yakni dengan cara mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah swt. agar terhindar dari siksaan api neraka, dan sekaligus memberikan motifasi akan pentingnya pengenalan hukum-hukum halal dan haram yang ditetapkan di dalam agama Islam atau yang menjadi ketentuan syara (hukum). Dan selanjutnya anak selain memahami hukum-hukum tersebut, tidak ada salahnya jika diperkenalkan hukum-hukum yang lain, selain hukum Islam.

3) Menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh tahun.

Al-Hakim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Amr nin al-Ash ra. Dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda:

“Perintahkanlah anak-anakmu melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila tidak mau melakukannya disaat mereka berusia sepuluh tahun lalu pisahkanlah tempat tidur anak laki-laki dan perempuan”.

Dari hadis tersebut di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw., Memerintahkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya mengerjakan shalat, ketika mereka berumur 7 (tujuh) tahun. Bila anak-anak telah mencapai usia 10 (sepuluh) tahun maka mereka dapat diajari tentang pokok-pokok shalat, tentang gerakan-gerakan dan bacaan-bacaannya. Supaya hal ini dapat dilaksanakan dengan baik dan benar maka orang tua terlebih dahulu memberikan contoh, dan menjadi teladan rajin melaksanakan shalat lima waktu. Dan apabila pada usia ini anak enggan melaksanakannya padahal sudah dibimbing, dibina dan dipraktekkan oleh orang tua, maka Rasulullah menyatakan pukullah ia. Penulis memahami bahwa yang dimaksud dengan memukul pada teks hadis tersebut adalah pukulan yang membuat anak sadar akan pentingnya shalat, dan bukan pukulan yang menyakitkan badan/jasmani dan jiwa anak.

4) Mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya, dan membaca al-Qur’an.

At-Tabrani meriwayatkan dari Ali ra. Bahwa Nabi saw. bersabda:

“Didiklah anak-anak kamu pada tiga hal: mencintai Nabi kamu, mencintai keluarganya, dan membaca al-Qur’an. Sebab, orang-orang yang ahli al-Qur’an itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain dari perlindunganNya beserta para Nabi-Nya dan orang-orang suci”.

Melihat hadis Rasulullah saw. tersebut, maka jelaslah bahwa para pendidik diberikan amanah oleh Rasulullah saw. untuk mendidik anak-anaknya kepada tiga hal yakni mencintai Nabinya, mencintai keluarganya dan mencintai al-Qur’an yaitu dengan membacanya. Mengapa hal ini dianjurkan Rasulullah saw.? sebab, orang-orang yang senantiasa memelihara tiga hal tersebut, akan berada dalam lindungan Allah swt. pada saat tidak ada perlindungan di hari Akhirat selain perlindungan Allah swt.

2. Tanggung Jawab Pendidikan Moral

Yang dimaksud dengan pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadiskan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan. Termasuk persoalan yang tidak diragukan lagi, bahwa moral, sikap dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang kuat dan pertumbuhan sikap keberagamaan seseorang yang benar.

Para ahli pendidikan dan sosiologi barat sangat menaruh perhatian akan adanya pertalian erat, antara iman dengan moral dan akidah dengan perbuatan. Sehingga mereka mengeluarkan beberapa petunjuk, pendapat dan pandangan yang menyesatkan, bahwa ketentraman, perbaikan dan moral tidaka akan tercipta tanpa adanya agama dan iman kepada Allah swt.

Beberapa pendapat dan pandangan mereka diantaranya; Pachtah, seorang filosof Jerman mengatakan, “Moral tanpa agama adalah sia-sia.” Ghandi, Tokoh pimpinan India menyatakan, “Agama dan moral yang luhur adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Agama adalah ruh moral, sedangkan moral merupakan cuaca bagi ruh itu. Dengan kata lain, agama memberikan makan, menumbuhkan dan membangkitkan moral, seperti halnya air memberikan makanan dan menumbuhkan tanaman.” Denank, seorang hakim Inggris menyatakan kecamannya terhadap seorang menteri Inggris yang telah bertindak amoral, “Tanpa agama, tidak mungkin di sana akan ada moral. Dan tanpa moral, tidak mungkin akan tercipta undang-undang. Agama adalah satu-satunya sumber yang terpelihara dan dapat membedakan moral baik dan buruk. Agamalah yang mengikatkan manusia untuk meneladani sesuatu yang paling luhur. Agamalah yang membatasi egoisme seseorang, menahan kesewenang-wenangan naluri, dan menanamkan perasaan halus yang hidup dan menjadi dasar keluhuran moral. Kant, seorang filosof kenamaan sebagaimana telah disebutkan di atas mengatakan, “Moral itu tidak akan tercipta tanpa adanya tiga keyakinan, yaitu keyakinan adanya Tuhan, kekalnya roh dan adanya perhitungan setelah mati.”

Dengan melihat berbagai pendapat para filosof tersebut, maka jelaslah bahwa Islam sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dari aspek moral. Karena pentingnya pendidikan moral ini, Rasulullah saw. memberikan wasiat kepada kita, Pertama; “Tiada suatu pemberian yang lebih utama yang diberikan seorang ayah kepada anaknya, kecuali budi pekerti yang baik”. Kedua; “Muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.” Ketiga; “Ajarkalah kebaikan kepada anak-anak mu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.

Dari sabda Rasulullah saw. tersebut, maka jelaslah bahwa para pendidik hendaknya memperhatikan pendidikan moral, etika dan budi pekerti untuk ditanamkan sejak usia dini dalam rangka membentuk jiwa dan kepribadian mereka dimasa yang akan datang. Jika penerapan sikap ini sudah tertanam di dalam jiwa anak, maka kehidupan sosial kemasyarakatan akan membawa dampak yang positif. Ini berarti bahwa seorang pendidik telah berhasil dalam proses pendidikannya.

0 komentar: